LABUAN BAJO TERKINI – Impian Ruth Krisnianti Utami untuk menikmati keindahan Labuan Bajo bersama rombongannya, termasuk 13 warga negara Amerika Serikat, kandas. Wisatawan domestik yang menetap di AS ini mengaku tertipu agen perjalanan Gratio Tour. Uang senilai Rp 101 juta yang telah dibayar lunas raib, perjalanan terancam batal, dan rombongan mereka pun terlantar.
Ruth bilang, pencarian agen perjalanan melalui Airbnb dan Google mengarahkannya ke Gratio Tour. “Dari Gratio Tour itu saya coba Google, mereka punya webnya. Saya sudah baca-baca webnya,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).
Komunikasi berlanjut melalui WhatsApp dengan seseorang bernama Dominikus Aliansi dari Gratio Tour. Untuk meyakinkan, ibu Ruth bahkan bertemu langsungnya di Jakarta. Saat itu, Dominikus mengaku sedang menghadiri konferensi tur Labuan Bajo. “Di situ mama saya minta KTP, minta dikasih juga surat perusahaan. Semuanya dokumennya lengkap. Dari situ kita percaya,” kata Ruth.
Rombongan berjumlah 20 orang, terdiri dari 13 WN Amerika dan warga Indonesia, memilih kapal Zada Ulla. Pembayaran dilakukan bertahap hingga lunas, termasuk tiket Komodo yang disebut Dominikus harus dengan uang muka, alias DP. “Pembayaran sudah lunas sampai tiket Komodo itu sudah dibayar lunas,” tegas Ruth. Total Rp 101 juta telah ditransfer.
Sebelum berangkat, Ruth mengontak pihak Zada Ulla via Instagram. Ia ingin memastikan semua dokumen diterima dan tak ada lagi yang diperlukan. “Pihak Zada bilang ke saya bahwa everything is good. Mereka sudah terima dokumennya. Saya bilang, perfect,” tuturnya, merasa sudah melakukan pengecekan ganda.
Kenyataan pahit menunggu di Labuan Bajo. Setelah dijemput dan diantar ke pelabuhan, pihak Zada Ulla yang awalnya memberikan boarding pass dan menjadwalkan keberangkatan pukul 10.00 WITA, mendadak memberi kabar. bahwa tiket Komodo rombongannya belum terbayar.
“Saya langsung bilang, saya sudah bayar lunas semuanya. Saya tunjukkan buktinya yang dikasih dari Dominikus, paid in full,” ungkap Ruth. Namun, Zada Ulla bersikukuh hanya menerima 30 persen dari total biaya yang disetor Dominikus. “Terus saya bilang, ini kalau gitu tanggung jawabnya di mana? Zada mau lepas tangan karena mereka bilang ini bukan tanggung jawab mereka.”
Ruth merasa janggal. Jika Zada Ulla hanya menerima 30 persen, seharusnya mereka menginformasikan saat konfirmasi awal. “Kalau memang Zada ini hanya terima 30%, itu saatnya Zada balas ke saya bilang, ‘Saya cuma terima 30% Ibu, kami perlu pembayaran total.’ Zada tidak komunikasi apa pun dengan saya,” sesalnya.
Setelah situasi memanas dan menunggu hingga pukul 12.00 WITA, rombongan diizinkan naik ke kapal Zada. Namun, hanya untuk menggunakan pendingin udara dan mendapat makan siang. Kapal tak bisa berlayar. Upaya menghubungi Dominikus Alianzi nihil. Keluarga Dominikus, yang ditemui polisi, menyatakan tak punya uang untuk ganti rugi.
Pihak Zada, menurut Ruth, kemudian meminta tambahan Rp 50 juta jika kapal ingin berlayar. “Pihak Zada tetap kekeh bahwa kapal tidak akan berlayar kecuali saya bayar ekstra Rp 50 juta,” katanya.
Akibatnya, Ruth mengirim email ke Konsulat Amerika Serikat, meminta perlindungan bagi 13 WN AS dalam rombongannya. “Saya ini sebenarnya bingung harus ke mana karena kapal enggak bisa jalan. Mereka tetap kekeh minta Rp 50 juta, keluarga (agen) enggak bisa tanggung jawab. Kita terlantar,” keluhnya.
Ia mempertanyakan kemungkinan adanya kongkalikong antara agen dan pihak kapal. “Apalagi kan sudah ada 30% di tangan Zada. Jadi sebenarnya uang kriminal itu sudah masuk ke rekeningnya Zada sendiri.”
Manajemen Zada Jadi Korban
Perwakilan Kapal Wisata Zada, Subali, menyatakan pihaknya juga menjadi korban agen Gratio Tour. Menurutnya, Kapal Zada belum menerima pembayaran penuh. “Kami juga salah satu korban dari pihak agent travel Gratio,” ujar Subali. “Kami belum menerima uang trip seutuhnya dari pihak Gratio, sementara tim tamu sudah menerima utuh dari tamu ke Gratio-nya.”
Subali merinci, dari total biaya Rp 80 juta yang semestinya diterima, Kapal Zada baru menerima sekitar 30 persen, atau Rp 24 juta. Meski demikian, ia menegaskan perjalanan tamu tetap dilanjutkan. “Untuk keputusan sekarang, tamu tetap harus jalan karena mengenai waktu dan destinasi, dan ada beberapa destinasi yang terlewatkan hari ini, mereka harus dapatkan di hari terakhir,” jelasnya. Mengenai langkah terhadap Gratio, Subali menyatakan akan ada komunikasi lebih lanjut.
Dispar Geram, BPOLBF Sayangkan
Kepala Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif dan Kebudayaan Manggarai Barat, Stefanus Jemsifori, mengecam agen travel nakal tersebut. “Hal ini memang menjadi keresahan kita saat ini. Karena banyak agen yang bermodalkan website. Tidak ada kantor di Labuan Bajo,” kata Stefanus, Rabu (4/6/2025). Ia mengusulkan regulasi yang mewajibkan usaha pariwisata berkantor di Labuan Bajo.
Sementara itu, Plt. Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Frans Teguh, turut angkat bicara. BPOLBF menyayangkan kasus yang dapat berdampak pada reputasi pariwisata Labuan Bajo ini. Pihaknya mengapresiasi langkah Zada Ulla yang tetap melayani wisatawan periode 2-4 Juni 2025 meski pembayaran belum lunas.
“Kami mendukung penyelesaian masalah pembayaran ini secara profesional antara pihak travel agent Gratio Tour and Travel dan pihak kapal Zada Ulla,” ujar Frans. BPOLBF mengimbau industri pariwisata menjalankan bisnis secara bertanggung jawab dan wisatawan lebih cermat memilih agen perjalanan. BPOLBF akan berkoordinasi mendorong tata kelola yang lebih transparan.
Jangan Sampai Labuan Bajo Jadi Cerita Buruk
Lagi-lagi, Labuan Bajo. Surga yang dijanjikan itu kembali tercoreng noda penipuan yang seolah tak berkesudahan. Laporan demi laporan terus mengalir, mengisahkan pengalaman pahit wisatawan yang datang dengan ekspektasi keindahan, namun pulang membawa kekecewaan akibat ulah segelintir oknum tak bertanggung jawab.
Modusnya beragam, dari permainan harga yang mencekik leher, paket wisata “abal-abal” yang tak sesuai janji, hingga akomodasi fiktif yang lenyap saat didatangi. Pola ini, sayangnya, bukan barang baru.
Ia seperti penyakit kronis yang terus menggerogoti reputasi Labuan Bajo, destinasi super prioritas yang mestinya steril dari praktik lancung semacam itu. Pertanyaan yang menggantung: sampai kapan penipuan akan terus berputar? Apakah aparat dan pemangku kepentingan hanya akan menjadi penonton, atau ada langkah konkret yang lebih dari sekadar imbauan? Sebab, satu cerita buruk dari Labuan Bajo bisa meruntuhkan ribuan promosi yang digembar-gemborkan.










Tinggalkan Balasan