LABUAN BAJO TERKINI – Pembangunan vila di Pulau Padar  Nusa Tenggara Timur, menimbulkan keresahan di masyarakat, termasuk Alimudin yang merasa marah atas rencana tersebut. Ia khawatir proyek ini akan berdampak negatif pada satwa langka komodo yang menjadi bagian dari Taman Nasional Komodo.

Alimuddin mengaku khawatir tentang nasib masyarakat yang bergantung pada aktivitas di sekitar pulau, terutama karena rencana pembangunan ratusan vila di wilayah konservasi Pulau Padar

“Kita di kampung komodo ini tidak tahu tentang villa yang mau di bangun di Pulau Padar itu kan. Mereka mau kuasai Pulau Padar tentu akan berhadapan langsung dengan kami dari sini”, ujarnya, Kamis (21/08/2025) di Labuan Bajo.

Alimuddin Bilang Pemerintah Hanya Ada Buat Investor Pulau Padar, Warga Lokal Tergusur
Alimuddin Bilang Pemerintah Hanya Ada Buat Investor Pulau Padar, Warga Lokal Tergusur

Ia berkisah, dahulu,  orang tua mereka diusir dari Loh Liang ke Kampung Komodo dengan alasan konservasi. Namun sekarang pengelolaan kawasan konservasi itu malah
diberikan kepada perusahaan swasta.

Warga di Pulau komodo kini hidup dalam kondisi sulit, terdesak oleh zona pemukiman yang hanya seluas 26 hektar untuk sekitar 2.000 jiwa, dan merasa negara tidak adil terhadap mereka.

“Pemerintah ini lucu sekali. Untuk perusahaan swasta di berikan izin usaha tetapi masyarakat sendiri diusir mereka”, lirihnya.

Penolakan terhadap rencana pembangunan di wilayah konservasi Taman Nasional Komodo yang terjadi sejak 2014 kembali mencuat dengan rencana pembangunan ratusan vila mewah, yang mengejutkan masyarakat Pulau Komodo dan sekitarnya.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.796/Menhut-I/2014 memberikan izin kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism untuk mengelola penyediaan sarana wisata alam seluas 274,13 hektar, yang merupakan 19,5% dari total luas Pulau Padar.

Sejumlah akibat serius dari rencana itu tentu akan berdampak langsung pada sekitar 30 ekor komodo di Pulau Padar, ditambah rencana pengembangan proyek besar oleh PT KWE dapat mengganggu habitat hewan purba tersebut.

Seperti dikatakan Alimuddin Pantai Utara Pulau Padar terkenal akan keindahan bawah lautnya yang menjadi tempat kehidupan bagi penyu dan berbagai jenis ikan.

Jika pun ada proyek di daerah tersebut, lanjut Alimuddin, tentu tidak serta merta berdampak pada masyarakat lokal. Di sisi lain, ada sekitar 50 warga Kampung Komodo mengais hidup dari menjajakan kuliner seperti kelapa muda dan kopi di Pulau Padar.

Pembangunan vila di wilayah konsesi KWE kata dia berpotensi berdampak negatif bagi masyarakat yang bergantung pada kunjungan wisatawan ke pantai.

“Kami khawatir warga yang menjalankan kegiatan ekonomi di lokasi tersebut akan terpaksa pergi saat proyek pembangunan dimulai”, ujarnya.

Alimuddin berpendapat bahwa negara seharusnya merasa bangga dan lebih menjaga kawasan konservasi, bukan memberikan kesempatan kepada investor untuk membuka lahan bisnis di area tersebut.

“Disinilah ketidak adilan negara itu bisa kita lihat. Negara larang kita untuk tidak boleh tebang pohon di kampung komodo dan loh liang karena alasan konservasi tetapi lahan konservasi di Pulau Padar juga akan di biarkan rusak oleh investor dengan dalil sudah ada izin”, katanya.

Dia dan masyarakat lokal kini menolak proyek tersebut dan bahkan mereka memilih untuk tidak hadir dalam sosialisasi yang dilakukan oleh manajemen PT KWE pada Rabu 23 Juli 2025,lalu. Alimuddin juga menantang klaim adanya komunikasi dengan masyarakat mengenai rencana pembangunan vila.

“Mungkin hanya dengan warga yang tidak paham apa itu konservasi mereka bisa kongkalingkong. Dengan kami agak sulit di percaya”, tegasnya.

Sebelumnya, Konsesi PT PHC mitra PT KWE kata Kepala Balai Taman Nasional Komodo Hendrikus Rani Siga mencakup area seluas 5.815,3 hektare yang mencakup perairan dan daratan Pulau Padar, yang merupakan salah satu lokasi populer di Taman Nasional Komodo yang banyak dikunjungi turis.

“Itu tidak hanya di Taman Nasional Komodo. Hampir semua taman nasional di Indonesia memberikan izin pengusahaan pariwisata, kata Hendrikus, mengutip labuanbajoterkini.id, Jumat.

Pria yang akrab di sapa Hengki itu bahkan menyatakan bahwa mereka (BTNK) secara rutin mengawasi lapangan dan bekerja sama dengan tim teknis serta ahli lingkungan untuk mencegah pelanggaran zona konservasi.

“Semua pihak terlibat dalam pembangunan telah menandatangani komitmen untuk mematuhi pedoman lingkungan”, ujar dia.