LABUAN BAJO – Setelah gelap, muncul cahaya. Ungkapan ini sepertinya sangat relevan untuk melukiskan keadaan hidup masyarakat 4 desa di daerah Kecamatan Boleng, Manggarai Barat, Flores-NTT. Rabu (13/11/2025).
Pada awalnya, masyarakat sangat menghargai kehadiran sistem energi matahari yang ramah lingkungan yang tersebar di Pulau Sumedang, Pontianak, Pasir Panjang, dan Batu Tiga, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat
Penghargaan ini tidak hanya berasal dari masyarakat tetapi juga dari pemerintah daerah, seperti Camat Boleng, Yohanes Suhardi. Bagaimana mungkin, Masyarakat kepulauan yang sebelumnya hanya mengandalkan lampu sehen sebagai sumber cahaya, sekarang dapat menikmati listrik selama 24 jam.
Sayangnya, harapan masyarakat untuk mendapatkan listrik di desa mereka justru terhalang oleh kelompok tertentu yang ingin meraih keuntungan pribadi. Niat baik dari individu yang peduli terhadap masyarakat di 4 pulau untuk menghadirkan sistem energi solar justru terhambat oleh pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi, seperti yang diungkapkan oleh warga setempat saat diwawancarai oleh media lokal.
Program dukungan sistem energi matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang awalnya memberikan harapan baru bagi masyarakat kepulauan di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, kini mengalami permasalahan serius. Beberapa penduduk di Pulau Sumedang, Pontianak, Pasir Panjang, dan Batu Tiga menolak untuk membayar iuran bulanan yang telah disetujui bersama.
Namun, sejak mulai beroperasi pada tahun 2023, sistem listrik tenaga matahari itu telah mengubah kehidupan masyarakat. Penerangan yang sebelum ini bergantung pada lampu minyak kini berubah kepada elektrik yang beroperasi sepanjang waktu. Penduduk juga dapat memanfaatkan kulkas, kipas angin, magic com, serta mengisi ulang ponsel tanpa batasan waktu.
Akan tetapi, kelangsungan program ini terancam terhenti karena beberapa warga menolak membayar kontribusi. Keterlantaran tersebut diduga disebabkan oleh pengaruh seorang individu berinisial R, yang mengaku sebagai figur pemuda.
“Kami sebenarnya selama ini membayar dengan baik, tetapi karena kami mendapat tekanan dari yang bernama Ridwan, jadi kami tidak ingin membayar.” “Kami sebenarnya memiliki dana untuk membayar iuran bulanan tersebut,” kata salah satu warga ketika dijumpai baru-baru ini.
Warga ini menjelaskan bahwa semenjak R ini pulang kampung, iapun mulai mempengaruhi warga untuk tidak membayar iuran bulanan. Padahal, lanjut sumber media ini, uang iuran ini merupakan kesepakatan bersama antara donatur dengan masyarakat yang mana uang itu digunakan untuk biaya perawatan dan biaya transportasi pegawai yang hendak melakukan pengecekan ke lokasi.
“Kami sebenarnya tidak keberatan pak. Daripada kami tidak bisa menikmati listrik. Inikan kami sudah bisa menikmati listrik seperti masyarakat perkotaan. Dan memang harus bayar. PLN saja dari pemerintah bayar apalagi yang bantuan ini. Kalau tidak ada perawatan ya tidak mungkin listrik ini awet pak. Kami khawatir nanti kalau donatur menarik kembali listrik ini, pasti kami kembali menggunakan lampu sehen. Ini ulah dari satu orang provokasi masyarakat,” ujar sumber media ini.
Warga lain mengaku bahwa soal manajemen pengelola listrik tidak ada masalah sama sekali. Justeru mereka menilai pengelolaannya selama ini berjalan baik dan transparan sesuai kesepakatan sejak awal dengan masyarakat. Masyarakat konsisten untuk membayar iuran. Tapi, semenjak R ini selesai kuliah dari Makasar dia mulai provokasi masyarakat untuk tidak bayar.
“Kalau pengelola kami anggap masih baik. Tidak ada masalah dengan kami. Cuma itu tadi, masyarakat telah dipengaruhi digunakan oleh anak muda ridwan ini untuk tidak membayar. Itu saja masalahnya,” kata warga lainnya.
Berdasarkan kesepakatan awal, iuran bulanan yang dibayarkan warga bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk menutup biaya operasional dan perawatan sistem. Setiap rumah dengan daya 1.000 watt dikenai biaya Rp400 ribu per bulan, sementara daya 600 watt sebesar Rp200 ribu.
Dana itu digunakan untuk pemeriksaan rutin, perawatan alat (maintenance), serta biaya transportasi petugas dari Labuan Bajo menuju wilayah kepulauan yang hanya bisa diakses dengan perahu.
Padahal awalnya Camat Boleng sempat mengapresiasi atas niat baik dari pihak yang punya niat baik untuk hadirkan listrik pada masyarakat kepulauan.
“Masyarakat sangat bersyukur sekali dan berterimakasih kepada pihak swasta yang sudah membantu masyarakat setempat karena sebelumnya mereka hanya menggunakan lampu sehen sebagai penerang. Tapi itukan hanya di malam hari. Itupun tidak terlalu terang,” ujar Yohanes Suhardi selaku Camat Boleng beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan bahwa penerang dengan menggunakan energi baterai ini masuk di wilayah Camat Boleng pada 2023 lalu dengan tujuan untuk membantu masyarakat di Kampung Pulau Sumedang, Pontianak, Batu Tiga, dan Pasir Panjang dalam hal penerangan.
Ia menjelaskan bahwa semenjak masuknya listrik ini, kini masyarakat setempat sudah bisa menggunakan kulkas, kipas angin, Mejik, dan bisa cas Hp kapan saja.
“Jadi tidak susah lagilah ya. Masyarakat sudah aman sekali. Masyarakat sangat bersyukur sekali sekarang,” ujarnya.
“Masyarakat ini sangat bersyukur dan berterimakasih kepada para pihak yang telah memperhatikan kebutuhan listrik masyarakat di kepulauan. Dari sebelumnya mereka hanya menikmati listrik dari lampu sehen, kini beralih ke listrik panel solar,” ujarnya.
“Waktu peresmian saya hadir, asisten 1 pak Hila Madin juga ikut hadir,” ujarnya.
Sementara itu, Kanisius salah satu pihak pengelola di lapangan menjelaskan bahwa untuk iuran yang diterima dari masyarakat kegunaannya ke depan murni untuk menambah jaringan bagi rumah rumah yang saat ini belum terjangkau listrik.
“mereka bayar bukanlah untuk profit, tapi untuk tujuan sosial yang kedepannya bisa membantu untuk menghidupkan rumah lain yang tidak terjangkau listrik,” ujar Kanisius melalui pesan WhatsApp pada Kamis, 13 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya masyarakat sudah sangat lama tidak mau bayar iuran bulanan. Hal ini menjadi kesulitan bagi pihaknya untuk datang ke pulau untuk melakukan pengecekan.
“Juga pembayaran iuran sudah putus lama, jadi sangat sulit untuk kita untuk pergi ke pulau tersebut karena tdk ada dana.
Dan dari kita tidak pernah mengganti kesepakatan, dari awal sampai skr masih sama, dan tujuan dari awal sampai skr tdk pernah berubah. Mereka sengaja melakukan perbuatan ini dengan memprovokasi warga lain agar alat itu bisa menjadi milik mereka. Skr alat ini menjadi ambil karena sudah banyak yg dirusak dan sambung langsung dengan batre, dan sangat membahayakan karena bisa terbakar,” ujarnya.
“Dari saya hanya menghendaki alat itu bisa di ambil dan tetap bisa berguna di labuan bajo untuk menghidupkan internet di daerah2 manggarai yang tidak terjangkau listrik, shg anak2 bisa belajar dan akses internet,” ujarnya.










Tinggalkan Balasan