NASIONALKepolisian Negara Republik Indonesia melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri berhasil menahan lima orang yang diduga terlibat dalam upaya merekrut anak-anak untuk jaringan terorisme.

Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa kelima orang tersebut berperan sebagai perekrut serta pengatur komunikasi dalam kelompok melalui media sosial.

“Fungsi mereka adalah merekrut dan mempengaruhi anak-anak agar menjadi radikal, bergabung dengan kelompok teroris, serta melakukan aksi teror,” kata Brigjen Trunoyudo dikutip dari TVRI news, Selasa, 18 November 2025.

Ia juga menambahkan bahwa ada lebih dari 110 anak dan pelajar yang telah teridentifikasi sebagai target perekrutan oleh jaringan tersebut.

“Sampai saat ini, Densus 88 AT Polri mencatat sekitar 110 anak berusia antara 10 hingga 18 tahun, yang berasal dari 23 provinsi, yang diduga sudah direkrut oleh jaringan terorisme,” ujarnya.

Adapun lima orang yang ditangkap adalah sebagai berikut:

1. FW alias YT (47) dari Medan, Sumatera Utara;

2. LN (23) dari Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah;

3. PP alias BMS (37) dari Sleman, DIY;

4. MSPO (18) dari Tegal, Jawa Tengah;

5. JJS alias BS (19) dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Yanto, seorang napi teroris JI yang berasal dari Elar, menjelaskan pola perekrutan dan bahaya radikalisasi di kalangan siswa sekolah.

Ia menyatakan bahwa remaja, terutama pemuda, menjadi target utama untuk perekrutan kelompok radikal.

“Bagi kita yang sudah berusia lanjut, hal itu cukup sulit,” ujarnya.

Peran Orang Tua dan Guru

Dia juga menekankan betapa pentingnya peran orang tua dan guru dalam memastikan anak-anak mereka aman.

“Pengawasan orang tua sangat penting dalam mendampingi anak-anak mereka. Selain itu, guru juga memiliki peran yang signifikan, terutama dalam menanamkan nilai-nilai toleransi dan cinta tanah air kepada siswa,” jelasnya.

Selain itu, Yanto menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami perundungan dan pengabaian lebih rentan terhadap perekrutan ini.

Pola Pergerakan Jema’ah Islamiah

Selain itu, Yanto juga menjelaskan tentang struktur organisasi JI yang ia anggap beroperasi secara tersembunyi.

“Gerakan JI itu tidak nampak. Mereka memasuki lembaga pendidikan, sekolah, serta mendekati tokoh masyarakat. Banyak mahasiswa dan pelajar yang terlibat. Kami juga mempengaruhi guru dan dosen mereka,” ucapnya.

Tujuan akhir mereka adalah merebut kekuasaan negara dengan menciptakan kekacauan.

“Ketika negara dalam keadaan tidak stabil, mereka akan mengambil alih. Lihat saja apa yang terjadi di Afganistan dan Suriah. Jangan biarkan Indonesia mengalami hal yang sama,” tegasnya.