LABUAN BAJO – Setelah kita mengetahui sejarah lahirnya Beo Tebedo dan status serta wewenang adat yang dimilikinya, pertanyaannya adalah siapa sebetulnya orang Tebedo itu. Apakah ‘orang Tebedo’ itu hanya yang berasal dari keturunan klan Pola ataukah orang Tebedo itu hanya mereka yang menetap di Beo Tebedo saat ini?

Untuk diketahui bahwa Beo Tebedo sejak dibangun, tetap berdiri kokoh sampai sekarang.

Tidak berpindah-pindah! Kampung Tebedo tetap ada dan dihuni oleh orang-orang Tebedo.

De facto, orang Tebedo yang kita kenal saat ini sesungguhnya terdiri dari enam suku (batu) atau keturunan.

Pertama, yang datang dari Beo Mbehal.

Kelompok ini masih dibedakan atas dua. Mereka yang disebut keturunan Pola dengan status sebagai pendiri-pemegang Ulayat dan Batu Cireng yang datang dari Mbehal dan hidup bersama orang dari suku/batu Wakel di Beo Mbehal.

Kedua, yang datang langsung ke Beo Tebedo tanpa melewati Beo Mbehal.

Kedatangan mereka didorong oleh semangat “kawe tana mambak-lodo tai mbolek-long latung coko-kawe woja wole”. Artinya mencari tanah yang lapang/luas nan subur.

Orang Pola menerima mereka dengan tulus dan ikhlas sehingga terjadilah “nggape ase ka’e”, telah menjadi saudara. Mereka itu adalah suku/batu Maras, suku Bung, suku Nawang dan suku Ntango.

Kendati demikian, seiring dengan perkembangan zaman, banyak dari anggota enam batu/suku ini bermigrasi ke tempat lain (Tebedo Diaspora).

Karena itu, perlu ditegaskan bahwa orang Tebedo yang dimaksudkan di sini terbagi dalam tiga kategori.

Pertama, orang-orang yang berasal dari keturunan klan/batu Pola, Cireng, Maras, Nawang, Bung, dan Ntango yang masih menetap di Beo Tebedo hingga kini.

Kedua, orang-orang yang berasal dari keturuan klan/batu Pola, Cireng, Maras, Nawang, Bung, dan Ntango yang sudah bermigrasi ke tempat lain atau berdomisili di tempat lain.

Ketiga, orang-orang yang menetap di Beo Tebedo karena kawin-mawin.

Ulayat Beo Mbehal Tebedo

Ulayat Beo Tebedo sedikit berbeda dengan orang Tebedo. Telah dijelaskan bahwa Orang Tebedo adalah orang-orang yang berasal dari keturunan batu Pola, Cireng, Maras, Nawang, Bung, dan Ntango baik yang menetap di Beo Tebedo maupun yang sudah bermigrasi ke tempat lain.

Dalam hal urusan adat-istiadat, Masyarakat Adat Tebedo dipimpin oleh seorang Tu’a Golo dan dibantu oleh enam Tu’a Batu Jabatan Tu’a Golo tidak selalu melekat dengan jabatan Tu’a Ulayat. Tu’a Golo boleh dijabat oleh keturunan selain dari suku Pola.

Sedangkan Ulayat Tebedo sendiri sebenarnya mengacu pada asal-muasal wilayah kekuasaannya.

Lalu siapa pemegang kekuasaan, hak dan kewenangannya. 

Tidak semua klan/batu di Beo Tebedo bisa menduduki jabatan sebagai pemegang Ulayat Tebedo’ Hanya keturunan dari klan Pola yang bisa menempati posisi itu.

Ulayat Mbehal Tebedo

Harus diakui bahwa Ulayat Tebedo berasal dari Gendang Mbehal. Pemegang kekuasaan ulayat atas tanah adat Mbehal adalah keturunan Suku/batu Pola.

Orang Pola Mbehal ini juga yang memberikan kekuasaan, hak dan kewenangan ulayat kepada Raba dan Gawang, orang Pola Mbehal yang menerima mandat untuk ulayat Mukang yang kita kenal sekarang dengan nama Beo Tebedo.

Tanah adat atau ulayat Beo Mbehal Tebedo

Gendang Mbehal memberi kuasa ulayat kepada Mukang Tebedo yaitu seluruh wilayah yang berada di dalam batas – batas sebagai berikut:

1. Berbatasan dengan Mbehal yaitu Wae Nampe

2. Batas dengan Hamente Kempo yaitu Wae Nuwa

3. Batas dengan Terlaing yaitu Wae Helung, Sunca Wae Bojol, Wae Bojol, Nio Lesa, Nio Sua Mongko Eta Natas, Mata Wae Helung, dan Tuke Nangga.

4. Batas dengan Ulayat Nggorang Sunga Wae Sipi, Loleng Wae Sipi, Mata Wae Wangga, Wase Kimpur, Liang Mbako, Mata Wae Hali, Poco Mawo, Kelumpang Tanda, Katur Nentang, sampai di laut Flores.

5. Batas Utara: Laut Flores.

Pemegang Ulayat Tebedo

Pada abad 19 (+1850) Ulayat Gendang Mbehal menyerahkan tanah adat di atas kepada RABA dan GAWANG-orang Pola Mbehal yang diutus ke Tebedo untuk menjadi pemegang kekuasaan adat atas Ulayat Beo Tebedo.

Keduanya dari keturunan/suku/batu Pola. Kekuasaan hak dan kewenangan Ulayat Beo Tebedo secara turun temurun diwariskan kepada keturunan suku/batu Pola Tebedo.

Tetapi ingat tidak semua orang keturunan Pola yang bisa menempati fungsi sebagai pemegang Ulayat. Pemegang Ulayat Tebedo harus dari keturunan RABA (pendiri Beo Tebedo).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meski berstatus sebagai ‘mukang’, tetapi Beo Tebedo telah memiliki wewenang penuh untuk mengatur, membagi, dan menguasai ‘tanah Ulayat’ yang sudah diserahkan oleh ‘Beo Pu’u Mbehal. Itu berarti Beo Tebedo memiliki semacam otonomi penuh untuk mengelola dan menguasai lahan garapan (lingko) komunal dari masyarakat adat Tebedo.

Keberadaan keturuan dari klan Pola, khusunya dari keturunan RABA menjadi garansi kokohnya status Beo Tebedo sebagai yang memiliki Tanah

Ulayat Keturuan dari empo RAIBA mendapat previlese setuk menjadi pemegang Tu’a Ulayat

Kerabat Orang Tebedo

Kita sudah mengenal Beo Tehedo dan mereka yang disebut “orang Tebedo. Bahwasannya orang Tebedo adalah semua keturunan sukubatu Pola, Cireng, Maras, Nawang, Bung, dan Ntango baik yang menetap di Beo Tebodo maupun di luar serta mereka yang karena kawin mawin tinggal di Tebedo. Artinya, mereka ini menjadi ase kar (saudara) orang Pola (Tebedo) di Tebedo.

Tetapi, sebetulnya di luar Beo Tebedo, orang Pola (Tebedo) memiliki kerabat dekat, antara lain: Pertama, orang Mbehal. Dalam tata kekerabatan, Mbehal disebut sebagai Kae (saudara tsa/kakak) beo pu u Mbebal, Orang Mbehal terdiri dari tiga sukubatu. Suku Pola, Cireng, dan Wakel.

Mereka inilah yang disebut orang Mbehal yang kemudian secara adat hak Ulayat disebut Ka’e. Hubungan Beo Tehedo dengan Mhehal adalah Ase-Kae.

Orang Terlaing

Leluhur orang Terlaing bernama Bazar (saudaranya Batan). Konon, kakak dan adik ini (Bazar dan Batang berasal dari Nggesik, Pacar.

Ada sebuah kisah soal kakak dan adik ini. Diceritakan bahwa saat sang adik (Batan) bepergian, entah opa dasarnya Bazar (kakak) membuang istri sang adik ke dalam kuali yang berisi rebusun air nira yang sangat panas.

Tentu saja, istri dari sang adik itu meninggal dunia. Terhadap peristiwa itu, ketika sang adik pulang, koduanaya memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan bermigrasi ke Warloka.

Tetapi, mereka merasa kurang nyaman tinggal di wilayah Warloka itu. Lalu, mereka kembali ke arah Timur, menyusuri Wae Nuwa hingga tiba di Rintang, Golo Nobo. Di sini mereka bertemu dengan orang ‘Mbehel’ yang sedang berkebun.

Sebagai catatan, waktu itu belum ada pemisahan antara Mbehel dan Mbehal.

Ketika terjadi pemekaran Gendang dalam arti Mbehel dan Mbehal terpisah, sang Kakak mengikuti Mbehal dan kawin dengan anak perempuan orang Mbehal sedangkan Batan mengikuti orang Mbehel.

Jadi, dia (Bazar) mengikuti Mbehal ke tempat yang sekarang disebut Beo Mbehal (atau disebut Ka’e Beo Pu’u Mbehal oleh orang Tebedo).

Dalam perjalanannya Bazar memperistrikan anak dari Mbehal. Mbehal sendiri adalah bapak bangsa suku/batu Pola.

Ketika Mbehal membuka mukang (kampung pemekaran) di Tebedo, maka Bazar bersama keluarga juga pindah ke tempat yang sekarang di sebut Rodak Tumur yang berdekatan dengan Tebedo. Tu’a Gendang Mbehal yang menyerahkan tempat itu adalah HAPA yang lebih dikenal dengan sebutan Kraeng Melak.

Oleh karena itu, hubungan kekerabatan antara Terlaing dan Tebedo adalah Weta-Nara (Saudara-saudari), di mana Tebedo sebagai nara (anak rona) dan Terlaing sebagai ‘weta’ (woe, anak wina).

Ulayat Beo Mbehal memberikan wilayah garapan kepada Weta Terlaing yang batas-batasnya sebagai berikut: Rodak Tumur, Puar Longgo, Lawe Rata, Tuke Nangga, Mata Wae Helung, Nio Sua Mongko eta Natas, Nio Leca, Cunca Tebedo, Sunga Bojol, Cunca Bojol, Cunga Wae Helung, Loleng Wae Helung, Repok Rangkang, Rodak Tumur.

Tempat menetapnya orang Terlaing adalah pertama di Rodak Tumur, kemudian Lawe Rata. Lalu mereka pernah tinggal bersama orang Tebedo di Tebedo. Tetapi tahun 1983 kembali ke Lawe Rata sampai sekarang.

Jadi, nama lokasi dari kampung Terlaing yang ada sekarang adalah Lawe Rata.

Riang Rangko

Ada seorang dari Suku Bugis/Bonerate. Namanya adalah La-Anca. Mata pencahariannya adalah nelayan.

Dia datang di Mbehal menemui tua Ulayat Mbehal, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Orang Pola

Kepada Ulayat Mbehal, La-Anca menerangkan bahwa sebelumnya dia tinggal di Binongko.

Di sana dia merasa tidak aman. Oleh karena itu, dia menghadap Mbehal untuk memohon izin tinggal di Rangko Keturunan dari La-Anca sekarang adalah Semahi.

Seiring berjalannya waktu kebutuhan untuk menguasai wilayah darat kian bertambah. La-Anca meminta lahan garapan untuk berternak kambing. bahkan untuk bercocok tanam di kemudian hari.

Karena itu, Mbehal memberikan lahan garapan bagi mereka sebagai berikut: Nanga Lumut, Wae Teku Timbus, Ngalor Wae Nampar, Lengkong Bangko, serta ke arah laut.

Selain memberikan lahan garapan kepada Rangko, Gendang Mbehal menetapkan Rangko sebagai Riang/Penjaga/Pengaman atas tanah Ulayat Gendang Mbehal yang ada di sekitar Rangko dan berbatasan langsung dengan Ulayat Nggorang. Jadi, status Rangko adalah Riang sehingga disebut Riang Rangko

Tanah Ulayat Mbehal yang dipercayakan penjagaannya kepada Riang Rangko adalah wilayah yang berada di dalam, mulai dari yang berbatasan dengan Ulayat Nggorang sampai yang berbatasan dengan penguasaan Riang Rangko.

Adapun wilayah yang berbatasan dengan Nggorang mulai dari Laut Flores yaitu: Watu Katur Nentang, Kelumpang Tanda, Poco Mawo, Mata Wae Hali, Linag Mbako, Wase Kimpur. Sedangkan batas dengan Riang Rangko sebagai berikut: Lengkong Mbako, Limbung Rehes, Nderluing, Kelot, Nara.

Ketika Mbehal memutuskan pendirian Beo Tebedo serta menyerahkan tanah ulayat bagai RABA dan GAWANG, maka wilayah-wilayah tersebut menjadi Hak Milik Beo Tebedo.

Sementara itu, Riang Rangko tetap menjalankan tugas ‘riang’ (pengawasan dan penjagaan) atas lahan tersebut yang telah menjadi hak milik Ulayat Beo Tebedo.

Status dan batas wewenang semacam ini menjadi begitu penting untuk diluruskan dan diketahui agar tidak terjadi klaim yang bersifat mengangkangi fakta sejarah yang sebenarnya.

Riang Rangko diakui oleh pemerintah sejak zaman penjajahan. Kita dapat menemukan Rangko dalam Peta Kar yang diterbitkan 1836.

Selain itu, Rangko memiliki pemerintahan kampung sendiri yang dipimpin oleh seorang Kepala Kampung. Tetapi, karena status Rangko sebagai “riang”, maka Kepala Kampung untuk Riang Rangko ditunjuk oleh Beo Tebedo. Sementara itu, Beo Tebedo sendiri memiliki pemerintahannya sendiri.

Adapun Kepala Kampung untuk Riang Rangko sebagai berikut: Donatus Rancus, Dominikus Jarung. Keduanya anak koa (mantu) dari orang Tebedo.

Jadi, status adat Rangko adalah Riang yang berarti penjaga atas tanah Ulayat/Adat yang diterima oleh Ulayat Mbehal yang sudah diserahkan dan menjadi milik Ulayat Tebedo di mana wilayah-wilayah tersebut berdekatan dengan Kampung Rangko.

 

Oleh: Alex Hata

Bersambung……”Situasi di Lokasi dan Sikap Orang Tebedo”.