LABUAN BAJO TERKINI –Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual menjadi momok utama bagi perempuan, sementara anak-anak rentan terhadap kekerasan fisik, seksual, hingga penelantaran. Tren kasus ini dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat, Marselinus Jebaru, mengungkapkan bahwa dalam setahun terakhir, jenis kasus perempuan yang paling sering ditangani pihaknya adalah KDRT dan kekerasan seksual. “Kasus yang sering kami tangani adalah KDRT dan kekerasan seksual,” ujarnya kepada labuanbajoterkini.id, Sabtu (24/5/2025) merujuk pada data terbaru.
Situasi serupa juga terjadi pada kasus anak. Menurutnya, kasus kekerasan fisik, seksual, dan penelantaran anak menjadi yang paling dominan ditangani oleh Dinas Sosial. “Untuk kasus anak, yang dominan adalah kekerasan, seksual, dan penelantaran,” kata dia.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa tren jumlah kasus perempuan dan anak yang dilaporkan ke Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat menunjukkan peningkatan signifikan dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun terakhir. “Dari tahun ke tahun (jumlah kasus, red) meningkat,” tegasnya.
Dari pemetaan wilayah, tiga kecamatan tercatat sebagai penyumbang angka pelaporan kasus perempuan dan anak tertinggi, yakni Kecamatan Komodo, Kecamatan Lembor, dan Kecamatan Boleng. Analisis Dinas Sosial menunjukkan adanya korelasi antara tingginya jumlah penduduk dan tekanan ekonomi dengan maraknya kasus kekerasan.
“Analisisnya, tiga kecamatan ini memiliki jumlah penduduk yang tinggi dengan tuntutan ekonomi tinggi yang tidak sesuai dengan pendapatan,” jelasnya. Ia menambahkan, “Ditemukan di beberapa kasus KDRT disebabkan oleh masalah ekonomi.”
Dalam penanganan kasus, Dinas Sosial melalui Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3KA) menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang komprehensif. “Kami menangani kasus sesuai dengan SOP penanganan pengaduan, yaitu layanan pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan,” paparnya.
Untuk pengelolaan data, Dinas Sosial memanfaatkan sistem digital. “Pendataan dilakukan melalui SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak),” pungkasnya. Data ini menjadi dasar bagi Dinas Sosial dalam merumuskan kebijakan dan intervensi lebih lanjut untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Manggarai Barat.
Fenomena Gunung Es Kekerasan Perempuan dan Anak di Manggarai Barat: Budaya dan Minimnya Sumber Daya Jadi Kendala
Gelombang kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Manggarai Barat, terus menghantui, dengan banyak kasus diduga tak terlaporkan bak fenomena gunung es. Laporan dari Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas Sosial P3A) Kabupaten Manggarai Barat menyoroti kompleksitas masalah ini, yang tidak hanya berakar pada faktor ekonomi, tetapi juga budaya dan keterbatasan sumber daya penanganan.
Data yang dihimpun dinas tersebut menunjukkan tren kasus yang fluktuatif selama lima tahun terakhir. Pada 2020 tercatat 96 kasus, melonjak menjadi 120 kasus pada 2021, kemudian turun menjadi 85 kasus pada 2022, 87 kasus pada 2023, 83 kasus pada 2024, dan hingga Maret 2025 sudah tercatat 27 kasus. Kecamatan Komodo/Polres Mabar menjadi wilayah dengan insiden tertinggi, disusul Lembor, Boleng, Kuwus, dan Sano Nggoang.
“Masalah KTPA di kabupaten Manggarai Barat ibarat Fenomena Gunung Es. Yang terlihat di permukaan atau mendapat layanan perlindungan tidak seperti yang sesungguhnya terjadi di masyarakat,” demikian kutipan dari laporan Kabid Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak (P3A) Dinas Sosial Manggarai Barat, Fatima Melani Rambing, yang diterima media ini, Senin (26/5).
Laporan tersebut mengindikasikan masih banyak korban tidak mendapatkan layanan perlindungan yang merupakan haknya, kasus terus terjadi karena dianggap biasa, dan tidak ada efek jera bagi pelaku.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama kekerasan fisik dan psikis oleh suami terhadap istri dan orang tua terhadap anak, mendominasi. Kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan juga menunjukkan tren meningkat, menyasar kelompok usia 12-18 tahun bahkan di bawah 12 tahun. Penyebab KDRT, menurut laporan itu, bersifat kompleks, mulai dari tidak adanya rasa saling menghargai, egoisme, ketidaksetaraan, budaya patriarkat, hingga faktor miras, judi, dan perselingkuhan.
Ironisnya, pandangan masyarakat yang menganggap KTPA sebagai ranah privasi dan aib keluarga menjadi penghalang utama. “Sehingga lebih memilih diselesaikan secara kekeluargaan atau secara adat budaya lokal, pilihan untuk diselesaikan secara hukum adalah pilihan yang masih sulit untuk dijangkau oleh korban,” tulis Melani dalam laporan itu.
Hal ini diperparah dengan minimnya sumber daya layanan. Meskipun ada Lembaga P2TP2A, Kabupaten Manggarai Barat belum memiliki UPTD PPA. Tenaga ahli seperti psikolog klinis dan mediator bersertifikat pun belum tersedia. Rumah aman masih bergantung pada pihak swasta, dan kendaraan operasional layanan kesulitan menjangkau medan sulit.
Masalah perkawinan usia anak, meski bukan kategori kekerasan, juga menjadi sorotan serius. Pada 2024, tercatat 187 anak remaja hamil, dan hingga Maret 2025 sudah 11 orang. “Anak menjadi putus sekolah dan rentan mengalami KDRT dan masalah lainnya seperti aborsi, stunting, dan bahkan kematian,” ungkap laporan tersebut.
Dinas Sosial P3A telah berupaya melakukan berbagai langkah, mulai dari program pencegahan melalui pendekatan keluarga dan sosialisasi di sekolah, hingga penanganan korban melalui kerjasama dengan berbagai pihak termasuk Rumah Perlindungan St. Theresia, JPIC SSPS Flores Barat, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Kementerian Agama.
Namun, tantangan terbesar tetaplah kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan perlindungan di tengah kuatnya pengaruh budaya. “Kemajuan IPTEK yang tidak dibarengi pembangunan SDM, terutama ketahanan moral, mengakibatkan kejahatan yang akan menguasai kehidupan manusia,” tambah laporan itu, seraya menyoroti kerentanan Manggarai Barat sebagai destinasi pariwisata dunia terhadap eksploitasi dan perdagangan manusia.
Pemerintah daerah didorong untuk segera menyediakan UPTD PPA. Dinas Sosial P3A pun mengajak masyarakat untuk berani melaporkan kasus KTPA dan tidak menjadi pelaku, seraya berpesan kepada korban untuk tetap berharga dan bangkit.










Tinggalkan Balasan