PRANCIS – Pada pukul 7 malam, saya tiba di kota Lille, Prancis, setelah perjalanan panjang 14 jam dari Jakarta ke Jeddah dan kemudian ke Paris, Prancis. Sabtu,6 Desember 2025.
Kota Lille terletak di bagian utara Prancis dan menjadi titik penghubung di Eropa.
Di layar informasi bandara Paris, ada tulisan “Lille Europe” untuk kereta yang berangkat pada pukul 7.47 malam.
Saya bertanya kepada anak saya yang menjemput saya dan istri tentang tulisan tersebut. Dia menjelaskan bahwa Lille adalah pusat perjalanan di Eropa.
Dari kota ini, akses ke Belanda, London, Jerman, Belgia, serta pintu gerbang ke Eropa Timur dan negara-negara Nordik sangat dekat.
Sambil menunggu kereta, kami bertiga menikmati kopi dan saya memperhatikan keramaian di sekitar kami.
Saya kembali bertanya kepada anak saya tentang banyaknya orang berkulit hitam di sini, dan dia menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Afrika, yang berasal dari bekas jajahan Prancis.
Ketika kereta tiba, suasana di terminal tampak kacau. Kami membawa dua koper besar dan harus naik turun eskalator, yang memang merepotkan. Ternyata bukan hanya kami, banyak penumpang lain juga tenggelam dalam kesibukan dengan koper mereka. Belum pernah saya lihat kondisi seperti ini sebelumnya.
Setelah masuk ke kereta, situasinya semakin rumit. Kereta tersebut memiliki dua tingkat, dan kami harus membawa koper ke tingkat dua di tengah kerumunan. Benar-benar merepotkan.
Setibanya di Lille, keramaian benar-benar luar biasa, dan semua orang bergerak cepat, bahkan anak saya yang tinggal di kota itu sudah terbiasa dengan ritme tersebut. Dia bisa mengurus dua koper sekaligus sementara kami kesulitan.
Selama perjalanan di kereta, saya memperhatikan penampilan orang-orang Prancis. Sebagian besar tampil modis, mulai dari rambut, pakaian, jaket panjang, sepatu, hingga cara mereka berjalan.
Di dalam kereta, terlihat lebih banyak orang tua dibandingkan anak muda. Namun, ada beberapa wanita dan pria muda yang menarik perhatian, dengan penampilan yang memesona.
Gadis-gadis tinggi ramping dengan rambut keriting, mata biru, dan pipi merona terlihat seperti bidadari.
Sesampainya di Lille, kami berpindah ke kereta lain dan melanjutkan perjalanan naik metro ke Valenciennes.
Kira-kira pukul 8 malam, kami tiba di kota kecil Valenciennes, di mana kami menyewa rumah keluarga dan bisa memasak sendiri.
Valenciennes adalah kota kecil yang memiliki Universitas INSA (Institut National des Sciences Appliquées), yang setara dengan ITB di Prancis. Setelah lulus dari ITB dengan jurusan dirgantara, anak saya melanjutkan program magisternya di INSA.
Di luar penginapan, udara terasa dingin dan angin menusuk kulit. Di bulan Desember, musim dingin semakin parah.
Artikel ini dikirim oleh Save Dagun dari Lille Prancis yang bersangkutan adalah seorang seorang Penulis dan Budayawan asal Manggarai NTT










Tinggalkan Balasan