LABUAN BAJO TERKINI – Selama bertahun-tahun, masyarakat di Taman Nasional Komodo menganggap izin untuk pembangunan ratusan vila di Pulau Padar sebagai “ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah”.
Beberapa pelaku industri pariwisata juga khawatir bahwa proyek ratusan vila tersebut akan “merusak habitat komodo” dan “secara perlahan menghancurkan pelaku wisata lokal”..
Siti Nurbaya, ketika masih menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengeluarkan surat keputusan dengan nomor SK.796/Menhut-I/2014 pada bulan September 2024. Surat tersebut berisi izin untuk PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).
Berdasarkan surat tersebut, perusahaan itu memperoleh hak untuk menjalankan usaha penyediaan fasilitas wisata alam. Luas area yang mereka miliki mencapai 274,13 hektare atau 19,5 persen dari total luas Pulau Padar.
Menanggapi protes dari warga, Kepala Balai Taman Nasional Komodo Hendrikus Rani Siga menyatakan, “Area yang dibangun hanya 5,64 persen dari total izin yang diberikan.”
Kementerian Kehutanan pada bulan Juli lalu mengadakan konsultasi publik untuk mengevaluasi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) terkait rencana investasi PT KWE di Pulau Padar.
Di tengah penolakan, konsultasi publik tersebut dianggap sebagai “berkah terselubung” bagi masyarakat Taman Nasional Komodo. Hal ini disampaikan oleh pegiat lingkungan Venan Haryanto, yang mengatakan bahwa masyarakat kini lebih memahami rencana proyek yang disusun oleh PT KWE.
“Dari dulu kami hanya bisa menduga-duga tentang rencana PT KWE. Ternyata, pembangunan yang direncanakan memang sangat masif,” ungkap Venan.
Arta Graha Group “Privatisasi Pulau Padar Tak Benar”
Artha Graha Group menegaskan bahwa mereka tidak pernah menjalin hubungan bisnis dengan pihak-pihak politik terkait pengelolaan usaha di Pulau Padar maupun Taman Nasional Komodo.
Pernyataan ini disampaikan oleh manajemen Artha Graha sebagai tanggapan terhadap berita mengenai dugaan privatisasi dan rencana pembangunan vila besar di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo.
Manajemen menjelaskan bahwa PT Palma Hijau Cemerlang, yang merupakan bagian dari Artha Graha Group, memang terlibat dalam aktivitas di area Taman Nasional Komodo.
Namun, fokus utama bukan pada pengembangan pariwisata yang besar-besaran, melainkan pada dukungan terhadap konservasi sesuai dengan Perjanjian Penguatan Fungsi Kawasan bersama Balai Taman Nasional Komodo.
Komitmen terhadap konservasi ini diwujudkan melalui pemulihan habitat di darat dan laut, pengelolaan sampah serta limbah di pantai, serta pembangunan mooring buoy untuk melindungi terumbu karang.
Lainnya adalah memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat dan wisatawan, melakukan pengawasan serta perlindungan kawasan, serta melibatkan masyarakat lokal untuk turut menjaga kelestarian Pulau Padar dan sekitarnya.
“Ketiga, perlu diperjelas bahwa gambar desain bangunan yang beredar di berbagai pemberitaan bukanlah rencana pembangunan baru oleh Artha Graha, melainkan merupakan rancangan lama dari pengelola sebelumnya. Saat ini, rancangan lama tersebut sedang ditinjau kembali dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem dan aspirasi masyarakat adat di sekitar Taman Nasional Komodo,” tambah manajemen, sebagimana tertulis dalam surat yang dilayangkan manajemen Artha Graha Group, Selasa (23/09/2025).
Sementara itu, Erick Hartanto, Komisaris Utama PT Komodo Wildlife, mengungkapkan bahwa pengambilalihan perusahaan dilakukan untuk mengubah arah bisnis agar lebih fokus pada konservasi.
“Awalnya, kami mendengar dari Kementerian Kehutanan bahwa ada puluhan atau ratusan IUPSWA yang belum beroperasi. Dari daftar tersebut, Artha Graha memilih IUPSWA Komodo Wildlife yang memiliki izin seluas 274,13 hektare di Pulau Padar dan 151,94 hektare di Pulau Komodo. Pimpinan kami mengambil alih kepemilikan saham mayoritas di PT Komodo Wildlife pada tahun 2022 sebagai upaya untuk mengubah arah bisnis yang lebih mengutamakan kegiatan konservasi. Kami berencana untuk mereplikasi model seperti di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) di Lampung,” jelas Erick.
Vila Pulau Padar Resiko Ganggu Komodo Hingga Resahkan Warga
Pembangunan vila di Pulau Padar, Nusa Tenggara Timur, telah menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat. Alimudin tidak bisa menyembunyikan kemarahannya terhadap rencana pembangunan vila di Pulau Padar, yang terletak di wilayah Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat.
Pria berusia 46 tahun ini berpendapat bahwa proyek tersebut akan berdampak negatif pada satwa langka komodo.
Masyarakat lokal telah diusir dari Loh Liang dengan alasan konservasi. Namun, alih-alih melibatkan masyarakat dalam upaya konservasi alam, pemerintah malah memberikan hak penguasaan lahan kepada perusahaan. Masyarakat hanya diberikan lahan pemukiman seluas 26 hektar untuk 2.000 orang, sementara perusahaan mendapatkan izin konsesi yang sangat luas.
Dia merasa khawatir tentang nasib masyarakat yang bergantung pada berbagai aktivitas di sekitar pulau. Terlebih lagi, informasi yang dia terima menyebutkan bahwa ratusan vila akan dibangun di wilayah konservasi tersebut.
“Kekhawatiran besar kita adalah, kita tidak tahu seluruh bagian utara Padar ini akan dikuasai, dan itu berhadapan langsung dengan masyarakat Komodo,” ujarnya mengutip Mongabay, Senin (11/8/25).
Dia menjelaskan bahwa masyarakat sebelumnya telah dipindahkan dari tanah asal mereka di Loh Liang, Pulau Komodo, ke Kampung Komodo karena alasan konservasi.
Namun, alih-alih mempertahankan konservasi alam dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya, pemerintah justru memberikan penguasaan lahan kepada perusahaan.
Akademisi: Bebaskan TNK dari Pebisnis Rakus
Rencana pembangunan ratusan vila dan resor oleh seorang konglomerat dari Jakarta di Pulau Padar di Taman Nasional Komodo (TNK), mendapat penolakan dari kalangan akademisi. Salah satu suara penolakan datang dari Dr. Philipus Ngorang, M.Si, seorang dosen di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.
Ia menekankan bahwa proyek tersebut tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai moral, tetapi juga melanggar konstitusi dan ideologi bangsa.
Menurut Philipus, secara konstitusional, pembangunan tersebut bertentangan dengan tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Ia menekankan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
“Pertanyaannya adalah, apakah pembangunan villa dan resort oleh para pebisnis tersebut memberikan kesejahteraan bagi masyarakat umum dan khususnya masyarakat setempat? Fakta sejarah menunjukkan bahwa pembangunan hotel-hotel di Labuan Bajo tidak banyak memberikan manfaat bagi warga setempat. Transportasi dan bisnis pariwisata dikuasai oleh pihak luar. Pola yang sama akan terjadi jika villa dan resort dibangun di Pulau Padar, sehingga hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.
Tinggalkan Balasan