LABUAN BAJO TERKINI – Setiap Jumat dalam Masa Prapaskah terutama pada Jumat Agung umat Kristiani di seluruh dunia melangkah dalam devosi sakral: Jalan Salib.

Sebuah perjalanan iman yang membawa kita menyusuri jejak penderitaan Yesus, dari pengadilan hingga ke puncak Golgota.

Di dalamnya, tersimpan undangan untuk merenung, berdoa, dan memahami kembali cinta pengorbanan yang tak terukur. Namun, di tengah arus zaman dan ledakan budaya digital,

Jalan Salib perlahan tergeser dari maknanya yang mendalam.

Apa yang dahulu merupakan momen hening dalam batin, kini sering tampil sebagai drama visual yang mengundang decak kagum atau gelak tawa.

Jalan Salib, alih-alih menjadi ruang doa dan pertobatan, berubah menjadi konten hiburan. Perjalanan Kristus yang seharusnya menyentuh hati, kini lebih sering menyenangkan mata. Ia viral di layar ponsel, tetapi sayup dalam nurani.

Belum lama ini, sebuah video viral di media sosial memperlihatkan seorang pemeran Yesus yang tiba-tiba meletakkan salibnya, mengejar, dan menendang seseorang di tengah pementasan.

Penonton tertawa. Penonton bersorak. Tapi, siapa yang menangis? Siapa yang merenung?

Pertanyaannya sederhana namun menggelitik nurani: apa yang sebenarnya sedang kita rayakan?

Apakah Jalan Salib masih menjadi ruang perjumpaan dengan Allah, atau telah menjelma jadi panggung sensasi digital? Apakah kita masih berdoa, atau hanya menonton?

Ini bukan tudingan terhadap seni visual atau drama liturgis. Justru sebaliknya ketika dilakukan dengan penghayatan, visualisasi Jalan Salib bisa menjadi sarana pewartaan yang luar biasa kuat.

Ia bisa menyentuh hati, membuka mata iman, dan menghadirkan pengalaman rohani yang hidup, terutama bagi generasi muda.

Tetapi kunci dari semuanya terletak pada niat: apakah kita menghayatinya, atau sekadar memerankannya?

Apakah kita bermaksud menyapa jiwa, atau hanya mengejar likes dan views?

Mendiang Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pernah mengingatkan dengan tegas, Jalan Salib dalam Gereja Katolik, entah itu yang dilakonkan ataupun tidak, adalah sebuah doa, bukan ajang untuk ikut ramai, apalagi sekedar pertunjukan di atas pentas. Pesan ini hari ini terasa lebih relevan dari sebelumnya.

Sebab Jalan Salib bukan drama. Ia adalah doa. Ia adalah ziarah batin menuju salib Kristus.

Di sana, kita diundang bukan untuk berakting, tetapi untuk bertobat. Bukan untuk menjadi penonton, melainkan untuk berjalan bersamamemikul salib kehidupan dengan Kristus, dan menemukan harapan dalam luka-Nya.

Di tengah dunia yang semakin visual dan cepat, kita memang membutuhkan kreativitas dalam menyampaikan iman.

Tapi kreativitas yang kehilangan kedalaman akan mengubah kekudusan menjadi tontonan.

Dan ketika salib dibanting demi tawa, bukan lagi dipikul dalam kasih, kita harus berani bertanya: di mana hati kita sebenarnya berada?

Maka, mari kita jaga kembali kesucian Jalan Salib. Entah dalam doa hening di gereja, atau dalam drama rohani yang penuh penghayatan biarlah semuanya bermuara pada satu hal: perjumpaan dengan Kristus yang mencintai sampai akhir.

Jangan izinkan salib menjadi alat sensasi. Biarkan ia tetap berdiri tegak, sebagai tanda kasih yang menyelamatkan.

Karena Jalan Salib bukan viral musiman. Ia adalah jalan menuju keselamatan.

Oleh: RD Yohanes Kiri – Keuskupan Agung Kupang