LABUAN BAJO TERKINI – Pernyataan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Manggarai Barat, Maria Yuliana Rotok, yang akrab disapa Lely Rotok, menjadi viral karena dianggap menyinggung perasaan warga dari tiga desa di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), yaitu Desa Komodo, Desa Papagarang, dan Pulau Rinca Desa Pasir Panjang.
Warga yang telah tinggal di sana selama bertahun-tahun merasa bahwa pernyataan tersebut seperti membuka luka lama, sebagaimana diungkapkan oleh Akbar Al Ayyub.
Akbar Al Ayyub, adalah seorang warga yang tinggal di kawasan Taman Nasional Komodo dan berprofesi sebagai pemandu wisata lokal, menyatakan dalam postingan Facebooknya pada Selasa, 14 Oktober 2025, bahwa Maria Yuliana Rotok alias Lely Rotok kurang melakukan penelitian dan memahami sejarah.
Menurut Akbar, warga dari tiga desa tersebut bukanlah pendatang, penyewa, atau menumpang. Mereka adalah penjaga alam, pelindung ekosistem, dan pewaris tanah yang telah dihuni jauh sebelum Indonesia merdeka.
Akbar juga membagikan dua dokumen bukti Surat Tanda Terima Setoran Pajak Daerah (STTSPD) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tertanggal 24 September 2025 atas nama Karim di akun Facebook-nya.
Postingan Akbar mendapatkan banyak tanggapan dari netizen, dengan 37 komentar. Salah satunya datang dari pegiat konservasi Sampah Plastik, Marta Muslim Tulis, yang biasa dipanggil Icha.
“Jika tidak tercatat, ke mana pajak PBB dari kampung Komodo selama ini? BPK harus turun,” tulis Icha, yang kemudian dijawab oleh Akbar, “Betul, kaka, aneh sekali. Bagaimana mungkin tagihan terus berjalan, lalu bilang hanya menumpang,” kata Akbar, mengutip akun Facebook @Akbar Al Ayyub pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Diksi kata “Menumpang” menjadi kontroversi
Baik Icha maupun Akbar merasa terganggu dengan penggunaan kata “menumpang” yang beredar di berbagai platform media saat ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata menumpang berarti berada di atas sesuatu (terletak), ikut serta dalam perjalanan, tinggal (bermalam) di rumah orang lain, atau membonceng.
Icha pun menilai pernyataan tersebut sangat menyakitkan hati warga yang telah lama tinggal di kawasan tersebut dan selama ini taat membayar pajak.
“Jika Ibu Yuliana menyebut masyarakat dari tiga desa itu menumpang, itu adalah pernyataan yang menyakitkan. Faktanya, masyarakat di sana tetap membayar pajak selama ini,” ujarnya.
Klarifikasi dari Kepala Bapenda Manggarai Barat, Maria Yuliana Rotok
Dalam wawancara dengan Labuan Bajo Terkini, Maria Yuliana Rotok menjelaskan bahwa ia tidak pernah menggunakan kata “menumpang”. Istilah tersebut justru muncul dari pertanyaan wartawan. Berikut bunyi petikan wawancara itu
“Bagaimana dengan status masyarakat yang tinggal di Taman Nasional Komodo? Apakah mereka dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau tidak?, tanya wartawan. Lely Rotok menjawab, “Jika mereka tinggal di tanah milik negara, maka sesuai aturan, tanah tersebut tidak dapat dijadikan objek PBB-P2,” ungkap Lely Rotok melalui telepon pada Selasa malam.
Menurut Lely, pernyataan tersebut berdasarkan isi Paragraf 8 Pasal 38 Ayat 3 mengenai PBB-P2 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Saya hanya menjawab sesuai dengan isi Undang-Undang, karena data yang ada mungkin sudah ada yang diterbitkan PBB-P2-nya,” lanjutnya.
Kepala Bapenda Manggarai Barat itu menjelaskan bahwa prinsipnya, tanah milik negara dikecualikan dari PBB-P2.
Ia juga mengaku tidak menyangka bahwa pernyataannya akan menimbulkan masalah bahkan memicu protes dari sebagian warga dan aktivis.
“Saya pikir masyarakat sekarang semakin cerdas dan sudah tahu bagaimana menilai status tanah tersebut, apakah milik negara atau perorangan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Lely Rotok mengakui bahwa ia sendiri belum sepenuhnya memahami sejarah kapan Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai wilayah konservasi.
“Saya belum terlalu paham kapan Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai wilayah konservasi, dan saya menjawab pertanyaan wartawan itu secara normatif sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tidak ada maksud lain di balik itu,” tegasnya.
Berdasarkan dokumen resmi dan informasi yang dikumpulkan oleh media ini, terdapat Surat Pengantar Pembayaran Kolektif PBB-P2 tahun 2025 dan Surat Tanda Terima Setoran Pajak Daerah Kolektif , September, tahun 2025″, seperti yang dibagikan oleh akun Akbar Al Ayyub di media sosial Facebook dari warga Desa Komodo bernama Karim. Ia tercatat membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar Rp 3.588.000 untuk 235 NOP, melalui Bapenda dan BPKAD Kabupaten Manggarai Barat.
Dokumen tersebut jelas menampilkan kop surat resmi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, lengkap dengan cap dan tanda tangan sah, serta rincian kode pembayaran, nama kolektor, dan tanggal transaksi. Artinya, negara menerima pajak dari rakyatnya yang mereka sebut sebagai penumpang di tanah negara, tulis Akbar.
Sejarah yang Tak Bisa Dihapus
• 1910-an – Pemerintah kolonial Belanda mulai mencatat keberadaan Pulau Komodo dan penduduknya.
• 1926 – Peneliti Belanda Peter A. Ouwens mendeskripsikan Varanus komodoensis secara ilmiah.
• 1950–1960-an – Desa Komodo dikenal sebagai kampung nelayan kecil dengan rumah panggung.
• 1980 – Wilayah itu resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo (TNK).
• 2000-an hingga kini – Masyarakat tetap hidup dan beradaptasi sebagai penjaga konservasi dan pariwisata alam. Mereka sudah ada jauh sebelum konsep “tanah negara” diterapkan.










Tinggalkan Balasan