LABUAN BAJO TERKINI – Riuh rendah diskusi publik pecah di Aula Hotel Prundi, Labuan Bajo, Sabtu, 10 Mei 2025 lalu. Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp-Mabar) menggelar bedah persoalan yang kian meresahkan: privatisasi pantai dan ruang laut oleh hotel, vila, dan restoran. Tajuknya lugas: “Menyoal Privatisasi Pantai dan Ruang Laut oleh Hotel, Vila, dan Restoran di Labuan Bajo, Siapa yang Diuntungkan?”
Namun, ironi segera mengemuka. Dari sekitar 80 undangan yang disebar ke berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah Manggarai Barat, Pemerintah Provinsi NTT, hingga manajemen hotel, kursi banyak yang kosong. “Kenyataannya tidak begitu banyak yang hadir,” ujar Sergius Tri Deddy, pemandu diskusi. Padahal, menurut Deddy, forum ini krusial agar pembangunan di kota pariwisata superprioritas itu tak lagi abai pada konstitusi dan undang-undang.
Deddy tak basa-basi. Ia langsung membentangkan sederet payung hukum, mulai dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, hingga Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik. “Namun yang terjadi, pantai dan laut yang menjadi sumber hidup rakyat dialihfungsikan untuk kepentingan privat,” tukasnya.
Deretan regulasi lain turut dibedah: Undang-undang Pokok Agraria (UU No 5/1960) yang mewajibkan fungsi sosial tanah, Keppres No 32/1990 tentang sempadan pantai minimal 100 meter, UU No 27/2007 jo. UU No 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir yang mewajibkan izin dan akses publik, hingga Perpres No 51/2016 yang melarang bangunan permanen dalam radius 100 meter. “Banyak hotel dibangun tanpa izin lokasi yang sesuai, merusak ekosistem pesisir dan menutup akses warga,” papar Deddy. Bahkan RTRW Manggarai Barat 2021-2041 yang menetapkan sempadan 100 meter dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 4% di zona pesisir, menurutnya, banyak dilanggar.
Kritik paling tajam Deddy layangkan pada Peraturan Bupati Manggarai Barat No 17 Tahun 2024 tentang RDTR Kawasan Perkotaan Labuan Bajo 2024-2043. Pasal 66 ayat 5 huruf C dan D yang mengatur jarak bangunan hanya 15 meter dari garis pantai atau batas zona perlindungan setempat di blok tertentu, dinilainya sebagai “sebuah kekeliruan karena menghadirkan norma baru.”
Rafael Taher, Ketua Formapp, mengamini. Investigasi lapangan mereka, lengkap dengan pengukuran meteran, menunjukkan banyak hotel terindikasi melanggar aturan sempadan pantai 100 meter. Upaya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Manggarai Barat pun, kata Rafael, menemui jalan buntu. “Rekomendasinya DPRD akan bersurat ke gubernur dan pemerintah pusat. Tapi kita juga tidak tahu isi suratnya apa,” ungkapnya. Diskusi itu, tegas Rafael, adalah bagian dari perjuangan hak masyarakat.
Suara dari perspektif adat pun mengemuka. Bonaventura Abunawan, tokoh adat dan mantan Camat Boleng, berkisah tentang sistem pembagian tanah leluhur. “Jangankan 100 meter, 20-30 meter tidak ada. Orang tua dulu mengatur, kau pagar saja sampai di mana bisa tumbuh jagung dan padi,” ujarnya. Batasnya adalah sejauh tanaman bisa tumbuh, bahkan hingga tepian laut. Ia juga menyinggung tradisi “menyulu,” hak masyarakat pegunungan mencari makan di laut, yang kini terancam. “Sekarang 100 meter, dan di atas laut juga dipagar, bagaimana masyarakat kita bisa hidup?,” tanya dia.
Bonaventura juga menyoroti paradoks. Banyak sertifikat tanah hingga bibir pantai diterbitkan oleh negara melalui BPN, namun kemudian masyarakat dilarang mengakses dengan dalih aturan. “Kita jangan membawa aturan yang mendualisme kepentingan masyarakat,” kritiknya. Sosialisasi aturan, menurutnya, juga minim.
Di tengah paparan dan keluhan, peserta diskusi mulai tak sabar. Ardi Dahim dari organisasi budaya Natas Komodo mendorong Formapp mengambil langkah lebih konkret. “Maka pada akhirnya seperti ini juga tidak banyak yang hadir. Paling efektif ketika ada pelanggaran, siapa pun orang itu, bawa ke dalam persoalan hukum,” tegasnya.
Senada, Marselinus Jeramun, mantan anggota DPRD, menyebut privatisasi pantai sudah masuk kategori pelanggaran. “Tidak ada tawar menawar. Kita harus mengembalikan pantai-pantai kita untuk kebutuhan kita semua,” serunya. Ia mendesak Formapp melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH). “Mendatangi penegak hukum, saya kira teman-teman penegak hukum akan bersikap.”
Andre Jemalu, peserta lain, melihat persoalan ini sebagai kesalahan sistemik sejak awal yang melibatkan pemerintah pusat hingga daerah, juga investor yang “mengorbankan norma.”
Ia menunjuk adanya “kelemahan hukum” akibat tumpang tindih regulasi, seperti antara aturan sempadan pantai dan konsep wisata premium. “Ini menjadi ruang yang memang dimanfaatkan oleh beberapa pihak,” bebernya. Baginya, perjuangan ekstra parlementer seperti diskusi ini penting untuk membentuk opini publik, “karena ada yang tidak beres di Parlemen,” urainya.
Diskusi hari itu memang belum menghasilkan jawaban pasti “siapa yang diuntungkan.” Namun, bola panas pelanggaran aturan sempadan pantai dan privatisasi ruang publik di Labuan Bajo kini menggelinding kian kencang, menuntut ketegasan sikap dan tindakan, bukan sekadar wacana. Akankah pemerintah dan aparat bergeming, atau memilih menertibkan demi kemakmuran rakyat yang sesungguhnya? Waktu yang akan menjawab.
Tinggalkan Balasan