LABUAN BAJO TERKINIKuasa hukum PT Floresco Aneka Indah, Erland Yusran, membantah tudingan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 37 karyawannya. Menurut Erland, wacana PHK justru muncul atas permintaan para karyawan itu sendiri, bukan inisiatif perusahaan.

“Yang pertama itu adalah bukan PHK. Kalaupun ada wacana PHK, itu adalah wacana yang dimintakan oleh teman-teman (karyawan),” ujar Erland, Rabu malam (4/6). Ia menjelaskan, akibat pemangkasan anggaran yang melanda berbagai lini, perusahaan mengambil kebijakan merumahkan sebagian karyawan sebagai langkah antisipasi agar tidak terjadi PHK. Sebagian karyawan yang dirumahkan bahkan telah dipanggil kembali bekerja dengan sistem shift.

Namun, Erland menyebut para karyawan lebih memilih untuk segera di-PHK. “Inilah yang kemudian muncul wacana PHK,” katanya. Pihak perusahaan, lanjutnya, menghadapi dilema karena jika melakukan PHK, mereka sadar harus memenuhi kewajiban sesuai regulasi, sementara kondisi keuangan terbatas.

Terkait tawaran yang diberikan, Erland menyatakan perusahaan sempat mengkonsepkan surat “ucapan terima kasih” yang karena ketiadaan formulasi regulasi, didekati dengan format pesangon. “Itu baru konsep, dimintakan pendapat, tapi mereka langsung foto dan menganggap sudah di-PHK,” jelasnya.

Erland juga menepis anggapan perusahaan mangkir dari pertemuan. Menurutnya, pertemuan awal diupayakan internal di kantor Floresco untuk menyelesaikan persoalan “rumah tangga” tanpa pihak ketiga. “Kalau memang dipaksakan kuasa hukum hadir, maka dari pihak perusahaan juga akan menghadirkan kuasa hukum,” tegasnya.

Setelah mediasi bipartit buntu, proses berlanjut ke mediasi tripartit yang telah berjalan dua kali. “Mediasi ketiga pada 26 April dibatalkan sepihak oleh pihak teman-teman karyawan,” ungkap Erland. Ia menyayangkan langkah karyawan yang kemudian menyurati Kementerian Tenaga Kerja sebelum ada hasil dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat. “Ini menurut kami menyalahi aturan,” ujarnya.

Pihak perusahaan, kata Erland, telah menawarkan opsi penyelesaian mulai dari angka Rp300 juta hingga Rp400 juta untuk total 37 karyawan. Namun, karyawan bersikukuh dengan tuntutan lebih dari Rp1 miliar, mengacu pada perhitungan pesangon sesuai PP 35 Tahun 2021 jika terjadi PHK.

“Hitungan Rp1 miliar sekian itu murni perhitungan mereka merujuk PP 35 Tahun 2021. Sementara kalau kami melihatnya, pertama itu bukan PHK, maka hitungannya bukan itu,” papar Erland. Ia menambahkan, angka yang ditawarkan perusahaan adalah dasar untuk membuka ruang diskusi, namun tidak ada respons penurunan tuntutan dari pihak karyawan. “Kalau seperti ini modelnya, berarti kita memang tidak ada ruang diskusi.”

Diberitakan sebelumnya, sebanyak 37 pekerja yang merasa haknya diabaikan kini membawa persoalan pesangon senilai lebih dari Rp1,1 miliar ke meja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI. Surat permohonan perlindungan hukum, bertanggal 20 Mei 2025, menjadi semacam SOS dari para buruh yang nasibnya terkatung-katung.

Surat yang diteken empat perwakilan pekerja—Herominus Nadur, Agustinus Syukur, Benediktus Handu, dan Lodoviktus Mangkur—tertuang keluhan atas PHK sepihak. Dalih efisiensi akibat proyek yang tak kunjung mewujud menjadi pemantik perusahaan merumahkan mereka. Namun, bagi para pekerja, kebijakan itu mengabaikan hak-hak normatif, terutama soal pesangon yang hingga kini bak kabut: tak jelas rincian maupun jadwal pembayarannya. Angka Rp1.104.552.009 yang mereka tuntut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.

Benang kusut ini bermula pada 30 Oktober 2024. Kala itu, manajemen PT Floresco Aneka Indah mengumumkan kondisi perusahaan yang “tidak baik-baik saja” lantaran nihilnya proyek. Sejak awal November 2024, ke-37 pekerja itu pun dirumahkan sementara. Memasuki 12 Maret 2025, perusahaan menyodorkan tiga opsi: PHK, mengundurkan diri, atau pensiun. Para pekerja memilih opsi pertama, dengan catatan pesangon dibayarkan sesuai aturan.

Upaya dialog melalui jalur bipartit, menurut para pekerja, telah digelar empat kali namun selalu menemui jalan buntu. Pertemuan pada 10 April 2025, misalnya, pihak perusahaan melalui HRD, Ibu Dewi, hanya menyatakan direktur tak bisa hadir. Sehari berselang, pertemuan 11 April malah dibatalkan sepihak. Mediasi pada 16 April pun kandas, disusul kegagalan pada 17 April akibat ketidakhadiran wakil perusahaan.

Langkah penyelesaian bergeser ke mediasi tripartit, difasilitasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Manggarai. Lagi-lagi, hasilnya nihil. Mediasi pertama pada 5 Mei 2025 gagal karena perusahaan tak kunjung membeberkan rincian pesangon. Pada pertemuan kedua, 19 Mei 2025, perusahaan berkukuh dengan hitungan versi kuasa hukumnya, tanpa sudi memberikan detail kepada para pekerja yang terdampak.

“Bahwa oleh karena penyelesaian secara Bipartit telah dilaksanakan sebanyak 4 kali dan gagal kemudian Penyelesaian Secara Tripartit sudah 2 kali semuanya selalu gagal,” demikian kutipan para pekerja dalam surat mereka, dikutip media ini, Selasa 3 Juni 2025. Harapan kini disandarkan pada otoritas tertinggi di bidang ketenagakerjaan, agar Menteri turun tangan melindungi hak-hak mereka.

Menurut kuasa hukum para pekerja, Hironimus Ardi, kebuntuan terjadi setelah mediasi bipartit antara pekerja dan perusahaan gagal sebanyak empat kali. Upaya mediasi tripartit yang melibatkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat pun kandas dua kali. “Proses bipartit gagal empat kali, dan tripartitnya dua kali,” ujar Hiro saat dihubungi labuanbajoterkini.id, Selasa malam (3/6/2025), merinci alotnya perundingan.

Hiro bahkan mengungkapkan bahwa pada salah satu mediasi bipartit, ia sempat dilarang masuk dengan alasan pertemuan hanya untuk pekerja dan pengusaha, padahal ia telah memegang surat kuasa dari 37 kliennya. “Saya selaku kuasa hukumnya, jadi tidak ada alasan kalau saya tidak dilibatkan dalam mediasi bipartit ini,” tegasnya.

Persoalan utama, menurut Hiro, adalah penawaran pesangon dari pihak perusahaan yang dinilai jauh dari ketentuan, yang ditolak mentah-mentah oleh para pekerja. Para pekerja menuntut hak pesangon mereka dibayarkan penuh sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Situasi kian pelik ketika perusahaan mengklaim tidak pernah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja, melainkan para pekerja yang tidak dipanggil kembali. Namun, klaim ini, menurut Hiro, bertentangan dengan adanya surat PHK yang telah diterima para pekerja.

Kekecewaan juga diarahkan kepada Disnaker yang dalam mediasi tripartit dinilai tidak netral dan cenderung membela kepentingan perusahaan. “Pihak Disnaker ini selalu mewakili dan selalu tampil mewakili pihak Floresco, akhirnya kan tidak berimbang jadinya,” tutur Hiro. Padahal, menurutnya, Disnaker seharusnya bertindak sebagai penengah yang netral.

Karena kebuntuan di tingkat daerah dan merasa tidak mendapat keadilan, para pekerja melalui kuasa hukumnya akhirnya melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Menteri Tenaga Kerja. “Kami berharap Menteri dapat mengintervensi dan memastikan hak-hak klien kami dipenuhi sesuai aturan yang berlaku. Ini adalah bentuk perlindungan hukum yang kami minta,” ujar Hiro. Para pekerja berharap, kata dia, ada tindakan konkret dari Kementerian untuk menyelesaikan sengketa yang telah berlarut-larut ini.